Senin, 21 April 2014

KI NAYAPATRA

NAYAPATRA / SINGAPATRA

Letak Goegrafis

Situs Makam Ki Singapatra berada di Kelurahan Kebumen, Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen, Povinsi Jawa Tengah. Situs ini berada di kompleks pemakaman umum warga Kelurahan Kebumen, lebih – kurang 700 m dari Kantor Kecamatan Kebumen, Gedung/Sanggar Pramuka Kebumen, dan Klenteng Kebumen. Kompleks pemakaman ini sekaligus menjadi batas wilayah dengan Kelurahan Panjer.
Riwayat Ki Singapatra
Menurut riwayat, sosok Singapatra masih memiliki alur keturunan keluarga Majapahit. Ia melakukan perjalanan ke barat hingga sampai di wilayah hutan di tepi sungai Luk Ula. Hal ini sangat mungkin jika melihat persebaran lokasi makam dan petilasan para tokoh dan keturunan Majapahit yang hingga akhir hayatnya berada di Kabupaten kebumen seperti: Gajah Mada di Punden Majapahit Sadang/Sadeng kemudian menuju ke selatan dan Moksha di Panjer. Syekh Baribin (salah satu putra Raja Majapahit) di Grenggeng Gombong, Gajah Oling (salah satu senopati Majapahit) di Gombong, Pertapan Danangsutawijaya di Kaligending, Pertabatan Sultan Agung Hanyakrakusuma, Sultan Amangkurat I dan Pangeran Dipanegara di Panjer, petilasan Untungsurapati di Karanggayam, petilasan Sunan Geseng di beberapa tempat di Kebumen dan lain – lain.
Ki Singapatra melakukan pertapaan di hutan di tepi sungai Luk Ula hingga mendapat petunjuk/sasmita untuk membuka hutan tersebut menjadi wilayah pemukiman (seperti juga yang dilakukan oleh Ki Malangyudha di hutan Jati Klirong yang kemudian menjadikannya sebagai sebuah desa yang dinamakan Alas Malang/Jatimalang). Dipekirakan kedatangan Ki Singapatra di daerah tersebut sekitar tahun 1500 an. Beliau dianugerahi usia lanjut (seperti Sayyid Muhammad Alim/Mbah Ngalim Bulus Purworejo yang merupakan keturunan dari sunan Kudus) hingga Moksha sekitar tahun 1700.
Setelah membuka hutan di tepian sungai Luk Ula, Ki Singapatra kemudian menjadikan wilayah tersebut menjadi tempat bermukim disusul dengan berdatangannya orang – orang dari berbagai daerah yang ikut bermukim di daerah tersebut. Wilayah Pemukiman itu berkembang ke arah timur dan utara kemudian dinamakan Desa Trukahan yang seiring berjalannya waktu, berubah nama menjadi Desa Kebumen. Para pendatang yang semakin banyak pun segera mendirikan pemukiman yang kemudian dinamakan Dukuh (Padukuhan).
Peran Ki Singapatra dalam Perjuangan
Ki Singapatra ikut berjuang dengan tokoh – tokoh lain seperti Ki Badranala dan Ki Ageng Geseng. Dalam buku “Sejarah Dinasti KRAT Kolopaking” karya R. Tirto Wenang Kolopaking disebutkan bahwa :
Pada tahun 1643 tentara Kompeni/VOC mencoba mendarat di pesisir Urut Sewu Petanahan dan berusaha menghacurkan lumbung – lumbung padi serta bahan pangan Panjer, tetapi dapat dipatahkan dan dihalau mundur oleh prajurit Panjer yang dipimpin langsung oleh Ki Bagus Badranala, Ki Ageng Geseng dan Ki Nayapatra/Singapatra/Patramenggala. Ki Nayapatra adalah mertua dari Ki Bagus Badranala. Tentara Kompeni/VOC lari ketakutan kembali ke kapal meninggalkan pantai Petanahan. Atas jasanya, maka Ki bagus Badanala diangkat menjadi Ki Gede Panjer Roma I oleh kerajaan Mataram (sejak pengangkatan Ki Bagus Badranala inilah nama Panjer berubah menjadi Panjer Roma).
Beberapa Nama Singapatra
Singapatra adalah nama asli, Nayapatra adalah nama samaran setelah berada di tempat yang baru (naya = pemimpin), sedangkan Patramenggala adalah nama tua setelah mandita. Ditinjau dari kajian waktu, Keberadaan Ki Singapatra di Kebumen jauh lebih awal dibandingkan dengan Ki Bagus Badranala. Ki Bagus Badranala berasal dari Panjer Gunung (Karang Lo, Karanggayam) kemudian setelah dewasa ia menuju ke Panjer dan mendirikan lumbung padi yang selanjutnya diserahkan untuk keperluan logistik Mataram. Di Panjer inilah Ki Bagus Badranala mempersunting salah satu anak Singapatra yang bernama Endang Patrasari.
Ada dua versi mengenai Singapatra. Versi Kolopaking menyebutkan bahwa Ki Singapatra adalah anak dari Ki Ageng Geseng. Versi ini sangat lemah ditinjau dari nama klan yang tidak tersambung ke atas. Berbeda dengan klan ke bawah yang melekat, terlihat dalam nama Endang Patrasari. Sebutan Endang sendiri merupakan sebutan kehormatan bagi para keturunan atau keluarga Kerajaan. Sehingga versi kedua bahwa Singapatra berasal dari periode Majapahit lebih kuat. Terlebih penggunaan nama – nama binatang seperti Singa, Gajah, Lembu, Banyak, Kuda, Kebo dan lain- lain pada pelekatan nama orang merupakan kurun Majapahit.
Keberadaan Lumbung padi Mataram yang pada awalnya didirikan oleh menantu Ki Singapatra ini juga dikuatkan dalam catatan perjalanan sejarawan Belanda. Menurut catatan perjalanan Rijklof Van Goens (Ia mengunjungi Mataram lima kali pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma) disebutkan bahwa:
Mataram di bawah Sultan Agung bagaikan sebuah Imperium Jawa yang besar dengan rajanya yang berwibawa. Istana kerajaan yang besar dijaga prajurit yang kuat, kereta sudah ramai, rumah penduduk jumlahnya banyak dan teratur rapi, pasarnya hidup, penduduknya hidup makmur dan tenteram. Kraton juga punya penjara, tempat orang – orang jahat pelanggar hukum dan tawanan untuk orang Belanda yang kalah perang di Jepara. Pada masa Sultan Agung inilah dikenal secara resmi adanya sebuah daerah lumbung pangan (padi) di Panjer dengan bupatinya bernama Ki Suwarno.
Ki Badranala yang mempunyai jiwa nasionalis tinggi, membantu Sultan Agung dengan menyediakan lokasi untuk lumbung dan persediaan pangan dengan cara membelinya dari rakyat desa Trukahan Kadipaten Panjer (Kadipaten adalah pemerintahan independen sejajar dengan Kabupaten). Pada tahun 1627 prajurit Mataram di bawah pimpinan Ki Suwarno mencari daerah lumbung padi untuk kepentingan logistik. Pasukan Mataram berdatangan ke lumbung padi milik Ki Badranala dan selanjutnya daerah tersebut secara resmi dijadikan Kabupaten Panjer di bawah kekuasaan Mataram. Sebagai Bupati Panjer, diangkatlah Ki Suwarno, dimana tugasnya mengurusi semua kepentingan logistik bagi prajurit Mataram (Kabupaten adalah wilayah resmi dari sebuah Kerajaan).
Hilangnya Ki Singapatra
Pasca periode Mataram Sultan Agung Hanyakrakusuma, Ki Singapatra kemudian menekuni ulah kapanditan dan bergelar Ki Patramenggala. Hal ini dilakukan pula oleh tokoh – tokoh Kabupaten Panjer Roma (kini berubah nama menjadi Kabupaten Kebumen) seperti Ki Bagus Badranala yang kemudian mundur dari jabatannya sebagai Ki Gedhe Panjer Roma (Bupati Panjer Roma I) dan menyingkir dari kota Raja Panjer menuju Karang Kembang hingga akhir hayatnya, serta Ki Ageng Geseng yang mandita sampai akhir hayatnya di Cangkring Desa Sadang Wetan. Berbeda dengan Ki Bagus Badranala dan Ki Ageng Geseng yang memilih seda, Ki Singapatra kembali melakukan pertapaan hingga murca atau moksha menjadi Rijalulghaib seperti yang dilakukan oleh Ki Malangyuda/Malangtaruna di Desa Jatimalang Klirong, Muh. Khahfi (Awal) di Lemahlanang Candiwulan dan Ki Banyumudal (Mbah Banyumudal) di Panjer.
Ki Singapatra memilih moksha di tempat awal kedatangannya. Secara tidak langsung,hal ini merupakan tuntunan ketauhidan bagi generasi selanjutnya sesuai dengan konsep pemahaman tasawuf Innalillahi wainna ilaihi rajiun, serta tuntunan kebangsaan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah dan asal – usulnya. Lokasi mokshanya kemudian menjadi tempat pemakaman umum warga desa kebumen hingga saat ini (Hal ini didapati juga di situs Kompleks Makam Kagungan dalem Kraton Yogyakarta di Mlangi. Dimana KGPH. Sandeyo/Kyai Nur Iman Mlangi pada awalnya bertapa hingga dapat petunjuk untuk membuka lahan pemukiman. Tempat pertapaannya pun kemudian menjadi tempat pemakamannya).
Seiring berjalannya waktu dan pergantian penguasa, riwayat Ki Singapatra makin terkubur dengan adanya babad baru seperti Babad Bumidirjo misalnya. Babad ini menceritakan peran pentingnya Pangeran Bumidirjo/Ki Bumi sebagai pembuka wilayah di Desa Kebumen, sedangkan Desa Trukahan Kabupaten Panjer Roma itu sendiri telah dikenal sejak masa Sultan Agung Hanyakrakusuma, artinya jauh sebelum kedatangan Pangeran Bumidirjo ke Kebumen dikarenakan ketidakcocokannya dengan Sultan Amangkurat I (Raja Setelah Sultan Agung Hanyakrakusuma).
Keturunan Ki Singapatra
Hampir 90% warga di daerah Trukahan mempunyai alur dari Ki Singapatra. Keturunan terbagi dalam beberapa klan yakni keturunan yang masih mendiami Trukahan, keturunan Klan Badranala, dan keturunan klan Kolopaking. Keturunan yang lain tersebar pula di Suriname dan Belanda antara lain klan Maddamin. Meskipun riwayat Ki Singapatra nyaris terkubur oleh babad – babad para tokoh pendatang, nama Ki Singapatra masih kuat melekat dihati para warga Trukahan Kebumen. Bahkan sebuah hotel di Kebumen pun menggunakan nama Patra / Hotel Patra sebagai salah satu identitas Kebumen. Tidak kurang para peziarah dari luar Kebumen berziarah ke Makam Ki Singapatra, termasuk para keturunannya yang berada di Belanda dan Suriname.
SUMBER:http://kebumen2013.com/situs-makam-ki-singapatra-kebumen-1500-1700/

KOMPLEKS MAKAM BADRANALA

MAKAM BERSEJARAH DI KARANGKEMBANG ,ALIAN,KEBUMEN


Makam/Pesarehan Ki Badranala berada di desa Karangkembang, kecamatan Alian, kabupaten Kebumen. Makam ini berada di atas perbukitan yang dikenal dengan nama gunung Kenap, dibawah sebuah pohon besar. Dari makam Ki Badranala kita bisa melihat wilayah kota Kebumen hingga pesisir Urut Sewu dan laut selatan Kebumen.

Silsilah Badranala
Dikisahkan dalam sebuah babad bahwa Ki Badranala adalah putra dari Ki Madusena. Ia besar di Karang Lo Panjer Gunung (kini masuk daerah Karanggayam).

Silsilah lengkap Ki Badranala sebagai berikut:
  1. Alur Mataram ; Ki Badranala; putra dari Ki Madusena; putra dari Kanjeng Putri Pembayun; putri dari Panembahan Senopati; putra dari Ki Ageng Pemanahan; putra dari Ki Ageng Nis; putra dari Ki Ageng Sela; putra dari Ki Ageng Getas Pandawa; putra dari Bondan Gejawan (Ki Ageng Tarub III); putra dari Lembu Peteng; putra dari Brawijaya V (Raja Terakhir Majapahit).
  2. Alur Mangir/Kemangiran ;Ki Badranala; putra dari Ki Madusena; putra dari Ki Ageng Mangir Wanabaya IV; putra dari Ki Ageng mangir III; putra dari Ki Ageng Mangir II (Jaka Wanabaya); putra dari Prabu Anom Bondan Surati/Panembahan Brawijaya; putra dari Prabu Brawijaya V.
  3. Awal  Karir Ki Badranala; Setelah berusia 12 tahun, Ki Badanala mengembara dan bertemu dengan dengan Ki Ageng Geseng. Ki badranala pun kemudian berguru kepada Ki Ageng Geseng. Ki Badranala kemudian menikah dengan Endang Patrasari, anak dari Ki Nayapatra/Singapatra/Patramenggala (pembuka desa Trukahan/Kebumen) pada tahun 1622 dan dikaruniai anak pertama bernama Kertasuta (Raden Bagus Kertasuta).

Pada tahun 1623 utusan dari Mataram yang bernama Ki Soewarno datang ke Panjer yang merupakan “Tanah Putihan” (bebas pajak/belum menjadi wilayah Mataram) untuk mencari tempat yang akan digunakan sebagai lumbung padi dan pangan Mataram dalam rangka peyerbuan terhadap VOC Batavia. Ki Badranala ditugaskan membantu Ki Soewarno dengan cara membeli bahan pangan dari penduduk setempat (Panjer).
Pada tahun 1624 Ki Badranala dianugahi putra kedua bernama Hastrasuta (Raden Bagus Hastrasuta). Pada saat itu bahan pangan mulai terkumpul dan lumbung padi Mataram di Panjer menjadi lumbung terbesar (lumbung dan kadipaten Panjer kemudian diubah Belanda menjadi pabrik Mexolie/Sarinabati Panjer Kebumen). Pasukan Mataram pun berdatang ke Panjer dalam rangka penyerbuan VOC ke Batavia. Kotaraja Panjer yang tadinya hanya menjadi lumbung padi Mataram kemudian menjadi basis militer Mataram. Bahkan Sultan Agung Hanyakrakusuma pun seringkali beradi di Panjer.

Pada tahun 1627 Ki Badanala menjadi pengawal bahan pangan Mataram yang dikirim ke Batavia. Ia juga ikut berperang di daerah Rawa Bangke (Jakata Timur). Atas jasanya, Ki Badanala kemudian diangkat menjadi senopati perang pada pertempuran melawan VOC di sayap Hutan Kayu (Jakarta Timur) dan berhasil menggempur benteng Solitude/benteng pendem (kini menjadi masjid Istiqlal jakarta Pusat). Dalam peperangan itu VOC mengalami kekalahan. Banyaknya korban dalam peperangan tersebut menimbulkan wabah penyakit muntaber yang juga menyerang para prajurit Mataram. Akhirnya pasukan Mataram kembali lagi menuju Panjer untuk menyusun kekuatan. Sementara itu, Ki Soewarno yang tidak ikut ke medan perang diangkat menjadi Adipati urusan bahan pangan (logistik) di Panjer.

Pada tahun 1628 Ki Badaranala yang akan berangkat lagi ke Batavia mengangkut bahan pangan dari Panjer disusul oleh Pangeran Nrangkusuma yang memerintahkan agar keberangkatan ke Batavia ditangguhkan dan bahan pangan tetap disimpan di lumbung Panjer karena pasukan Mataram mundur memasuki Ajibarang.

Pada tahun 1635, Adipati Ki Soewarno menikah dengan gadis Klegen (Klirong) sedangkan isterinya dari Mataram diceraikan. Meskipun beristeri dua kali, Ki Soewarno tidak memiliki keturunan hingga akhir hidupnya.

Pada tahun 1638 Ki Kertasuta (putra pertama Ki Badranala) bertugas di Panjer. Dalam usianya yang muda, ia dipaksa menikah dengan ipar Adipati Ki Soewarno. Ki Kertasuta kemudian diangkat menjadi Patih. Sementara Ki Hastrasuta (adik Ki Kertasuta) berguru pada Ki Ageng Kajoran.

Pada tahun 1642 Panjer resmi dijadikan Kabupaten dan Ki Badranala diangkat menjadi Bupati pertama kabupaten Panjer, sedangkan Ki Soewarno tetap dijadikan Adipati bidang pangan (logistik). Pada saat itulah Panjer diubah menjadi Panjer Roma dan secara resmi menjadi daerah di bawah kerajaan Mataram.

Usaha Pembumihangusan Lumbung Panjer I
Pada tahun 1643 pasukan VOC mencoba mendarat di Urut Sewu (pantai Petanahan) untuk menghancukan lumbung padi dan pangan terbesar Mataram di Panjer/Panjer Roma. Aksi ini berhasil digagalkan oleh pasukan Panjer yang dipimpin langsung oleh Ki Badranala dan Ki Singapatra (Nayapatra alias Patramenggala; metua dari Ki Badranala). Tentara VOC pun lari kembali menuju ke kapal dan meninggalkan pantai Petanahan. Atas keberhasilannya tersebut, Ki Badranala diangkat menjadi Ki Gedhe Panjer Roma I oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Keberadaan Lumbung padi dan pangan terbesar Mataram di Panjer terdokumentasi dalam catatan perjalanan seorang Belanda yang bernama Rijklof Van Goens. Menurut catatan perjalanan Rijklof Van Goens (Ia mengunjungi Mataram lima kali pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma) disebutkan bahwa:
“Mataram di bawah Sultan Agung bagaikan sebuah Imperium Jawa yang besar dengan rajanya yang berwibawa. Istana kerajaan yang besar dijaga prajurit yang kuat, kereta sudah ramai, rumah penduduk jumlahnya banyak dan teratur rapi, pasarnya hidup, penduduknya hidup makmur dan tenteram. Kraton juga punya penjara, tempat orang-orang jahat pelanggar hukum dan tawanan untuk orang Belanda yang kalah perang di Jepara. Pada masa Sultan Agung inilah dikenal secara resmi adanya sebuah daerah lumbung pangan (padi) di Panjer dengan bupatinya bernama Ki Suwarno“.
Dibakarnya Lumbung Padi Panjer
Sejarah nasional menyebutkan bahwa kekalahan Sultan Agung Hanyakrakusuma disebabkan oleh dibakarnya lumbung – lumbung padi Mataram oleh Belanda, dimana lumbung terbesar pada saat itu adalah lumbung yang berada di Panjer (lokasi tersebut berada di dalam kompleks daerah yang kini menjadi Pabrik Mexolie/Minyak Kelapa Sarinabati yang mempunyai luas sekitar 4 Ha). Peristiwa ini terjadi pada penyerangan Mataram yang ke tiga dan sekaligus menjadi peperangan terakhir Sultan Agung Hanyakrakusuma. Beliau wafat pada awal tahun 1645 dan dimakamkan di Imogiri.
Pada tahun 1658 setelah lanjut usia, Ki Badranala (Ki Gedhe Panjer Roma I) menyerahkan pemerintahan kepada anaknya yang bernama Ki Hastrasuta dengan gelar Ki Gedhe Panjer Roma II. Ki Badranala bersama istrinya kemudian hidup mandhita (menekuni dunia spitirual) di gunung Kenap Karangkembang hingga akhir hayatnya. Kelak pada masa pemerintahan Ki Gedhe Panjer Roma III (putra kedua dari Ki Curiga; Ki Curiga putra dari Ki Kertasuta) inilah Sultan Amangkurat I (pengganti Sultan Agung Hanyakrakusuma) mengungsi ke Panjer saat terjadi pemberontakan Trunajaya dan menganugrahi gelar Tumenggung Kalapaking (I) kepada Ki Gedhe Panjer Roma III sehingga sejak saat itu penguasa Panjer berganti gelar dari Ki Gedhe Panjer menjadi Tumenggung Kalapaking.

sumber:http://kebumen2013.com/situs-makam-pesarean-ki-badranala-desa-karangkembang-alian-kebumen/